Baca tulisan Uni tentang pertama kali jatuh cinta pada buku, jadi inget diriku sendiri. Apa yang dilakukan mama Uni juga kulakukan, menyusui Adiba sambil membaca, bukan nonton tipi. Sebab, bagiku menyusui adalah saat paling indah dari apapun, saat dimana bonding terkuat ibu dan bayi terjadi dan saat menyusui lah saat paling efektif untuk menanamkan nilai -apapun. Kadang aku menyusui Adiba sambil mendongengkan cerita Poni The Merry-Go-Round Horse, yang lalu menjadi buku dan dongeng favoritnya hingga hari ini.
Tentang diriku sendiri, yang ku ingat aku suka buku sejak bisa membaca di kelas TB Nol Besar. Waktu itu, di kelas itu cuma aku seorang yang sudah bisa membaca. Guru membaca nya bukan bu Guru TK melainkan bapak. Merasa diri paling hebat di kelas, aku malah makin keranjingan baca supaya bisa bersombong-sombong sama teman sekelas. Hahahaha... Kalau ada acara jalan-jalan, aku selalu sibuk membaca nama toko, nama jalan atau apapun yang lewat keras-keras. Bu Guru bangga sekali padaku.
Masuk sekolah dasar, hobi membacaku jadi menggila. Setidaknya ada 4 majalah yang Bapak langgankan untuk kami semua anaknya yaitu Bobo, Ananda, Si Kuncung dan Taman Melati. Bapak membuatkan perpustakaan kecil di ruang bawah loteng musholla. Setiap sore menjelang jadwal Bapak ngajar kami ngaji, aku dan teman-teman suka berkumpul di perpustakaan untuk membaca majalah. Tak jarang kami saling bertukar majalah dan komik. Dari seluruh saudara kandungku sepertinya aku yang paling freak ama buku. Lagi makan, baca. Lagi pup, baca. Lagi tiduran, baca. Tapi tidak ketika di atas kendaraan. No way. Bahkan, acara tivi -sampai sekarang- bagiku tidak lebih menarik daripada membaca.
Menjelang SMP, barulah aku tertarik untuk membaca buku yang tidak bergambar. Yang paling sering novel Lima Sekawan. Buku yang agak berat ku baca ketika aku kelas 3 SMP yaitu buku berjudul Operasi Woyla, yang bercerita tentang keberhasilan tentara kita menyelamatkan pesawat Woyla dari serangan teroris. Bagiku, buku itu kereeeen banget.
Masuk SMA, mulailah penasaran baca novel. Waktu itu, novel masih barang mewah dan aku kurang pengetahuan tentang jenis novel. Maklum di kota kecil, tidak banyak pilihan. Saking gila baca, gak cuma novel Hilman Lupus dan Mira W., novel karya Freddy S. pun aku embat, hahahaha. Tentu saja bacanya diam-diam di kamar pura-pura sudah tidur. Selesai baca, sembunyikan di bawah kasur. Karmanya terjadi ketika suatu hari dilakukan razia di sekolah. Salah satu target razia adalah novel dewasa macam Freddy S. Aku kena razia. Wuih....siswa ranking satu ketangkep bawa Freddy S. !!. Berita heboh itu dalam hitungan menit langsung bikin kuping Bapak panas. Sebagai hukuman, aku distop langganan majalah Hai selama setahun. Tapi untunglah, kesibukan les di sekolah yang cukup menyita waktu hanya menyisakan waktu sedikit untuk membaca buku pelajaran. Dalam hal buku pelajaran pun aku termasuk gila buku. Untuk satu mata pelajaran, setidaknya aku punya buku dari 4 penerbit yang berbeda: Airlangga, Ganesha Exact, Intan Pariwara dan Kendang Sari. Semuanya buku loakan, hasil hunting dari pasar Punthuk Madiun.
Begitu kuliah, horeee...serasa merdeka hahaha. Aku paling rajin ke perpustakaan. Toko persewaan buku di Dinoyo maksudnya. KTM ku lebih banyak parkir di sana daripada di perpustakaan kampus, hehehe... Kalo ada rejeki dari beasiswa atau honor asisten praktikum, aku beli buku-buku Emha Ainun Najib.
Sampai sekarang, alhamdulillah, aku selalu diberi kemudahan untuk mendapatkan akses membaca. Sehingga kalau lagi sakaw buat membaca setidaknya aku tidak terlalu tersiksa. Aku dikelilingi sanak saudara yang sama gila bukunya denganku tapi koceknya lebih tebal untuk bisa membeli buku. Dari buku dan majalah agama, motivasi, resep masakan, kesejahteraan keluarga, hobi, sosiologi, politik, travelling, filsafat, novel, bahasa Indonesia maupun buku import tersedia.
Memang, surga dunia itu buku....
Kamis, 06 Mei 2010
Langganan:
Komentar (Atom)


